http://www.qaumiyyah.org/index.php/qaumiyyah/issue/feedQaumiyyah: Jurnal Hukum Tata Negara2025-07-01T20:28:18+00:00Muhammad Taufikmuhammad_taufik@iainpalu.ac.idOpen Journal Systems<p>Online ISSN: <a title="Tautan ISSN" href="http://u.lipi.go.id/1611145465" target="_blank" rel="noopener">2775-0299</a></p>http://www.qaumiyyah.org/index.php/qaumiyyah/article/view/198IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2022 TENTANG PEMASYARAKATAN TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN2025-06-28T10:58:00+00:00Herdycha Surya Kisworokisworoherdycha@gmail.comHeppy Hyma Puspytasariheppypuspytasari@unesa.ac.id<p>This study analyzes the implementation and implications of Law Nomor 22of 2022 on Corrections for social changes among inmates at the Tangerang Youth Correctional Facility Class IIA. Using an empirical juridical method, this research combines normative legal analysis with field data collected through literature review, interviews, and direct observation. The findings indicate that Law Nomor 22of 2022 simplifies remission and integration procedures by eliminating the requirement for a Justice Collaborator (JC), providing fairer opportunities for inmates to participate in rehabilitation programs. This has increased participation in education, skill training, and social reintegration initiatives. Furthermore, the law emphasizes mental health services and the fulfillment of basic rights, creating a more conducive correctional environment. The number of inmates decreased from 3,164 at the end of 2021 to 2,887 in November 2024, effectively addressing the issue of overcrowding. However, several challenges remain to be addressed. Continuous support from the government and society is crucial to achieving rehabilitation goals and reducing recidivism rates.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Penelitian ini menganalisis implementasi dan implikasi Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan terhadap perubahan sosial warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas IIA Tangerang. Menggunakan metode yuridis empiris, penelitian ini menggabungkan analisis hukum normatif dengan data lapangan melalui studi pustaka, wawancara, dan observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 menyederhanakan prosedur remisi dan integrasi dengan menghapus syarat Justice Collaborator (JC), sehingga memberikan kesempatan lebih adil bagi warga binaan untuk mengikuti program rehabilitasi. Hal ini meningkatkan partisipasi dalam pendidikan, pelatihan keterampilan, dan reintegrasi sosial. Selain itu, undang-undang ini menekankan layanan kesehatan mental dan pemenuhan hak dasar, menciptakan lingkungan pemasyarakatan yang lebih kondusif. Jumlah warga binaan menurun dari 3.164 orang pada akhir 2021 menjadi 2.887 orang pada November 2024, mengurangi masalah overkapasitas. Namun, beberapa tantangan masih perlu di atasi, Dukungan berkelanjutan dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai tujuan rehabilitasi dan menekan angka residivisme.</p>2025-06-28T10:53:58+00:00Copyright (c) 2025 Qaumiyyah: Jurnal Hukum Tata Negarahttp://www.qaumiyyah.org/index.php/qaumiyyah/article/view/206ANALISIS PEMANFAATAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE DALAM PELAYANAN PUBLIK MENURUT PRINSIP FIKIH SIYĀSAH2025-06-28T15:23:43+00:00Ardiansyahardinami07@gmail.comDesy Kristianedesykristiane@uindatokarama.ac.idSitti Nurkhaerahnurkhaerah@iainpalu.ac.id<p>In recent years, governments in various countries, including Indonesia, have begun to utilize Artificial Intelligence (AI) to improve the efficiency of public services, such as through Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) and chatbots. Despite its benefits, Artificial Intelligence also poses ethical risks, such as algorithmic bias, over-surveillance, and privacy violations. This research aims to provide an overview and analysis of the use of Artificial Intelligence in public services based on the principles of Fikih Siyasah. This study employs a normative legal method with a conceptual and statutory approach to examine the use of Artificial Intelligence in public services in light of Fikih Siyasah principles, as well as to explore moral and ethical boundaries, including the risk of government data misuse. The findings indicate that the use of Artificial Intelligence in public services faces challenges such as privacy violations, dehumanization, and the potential for authoritarian and discriminatory actions. Therefore, its utilization must be grounded in the principles of Fikih Siyasah to ensure efficiency, transparency, and the protection of citizens' rights. With strict regulation and participatory oversight, Artificial Intelligence can serve as a tool for public benefit without compromising Islamic ethical and moral values.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, mulai memanfaatkan <em>A</em><em>rtificial </em><em>I</em><em>ntelligence</em> untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, seperti melalui <em>Electronic Traffic Law Enforcement</em> (<em>ETLE</em>) dan <em>chatbot</em>. Meski bermanfaat, <em>A</em><em>rtificial </em><em>I</em><em>ntelligence</em> juga menimbulkan risiko etis seperti bias algoritma, pengawasan berlebihan, dan pelanggaran privasi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan penjelasan tentang pemanfaatan kecerdasan buatan dalam pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip Fikih Siyasah. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan untuk mengkaji penggunaan <em>Artificial Intelligence</em> dalam pelayanan publik sesuai prinsip Fikih Siyasah, serta menelaah batasan moral dan etika, termasuk risiko penyalahgunaan data oleh pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan <em>A</em><em>rtificial </em><em>I</em><em>ntelligence</em> dalam pelayanan publik menghadapi tantangan seperti pelanggaran privasi, dehumanisasi, serta potensi tindakan otoriter dan diskriminatif. Oleh karena itu, pemanfaatannya perlu berlandaskan prinsip Fikih Siyasah agar tetap efisien, transparan, dan melindungi hak masyarakat. Dengan regulasi ketat dan pengawasan partisipatif, <em>A</em><em>rtificial </em><em>I</em><em>ntelligence </em>dapat menjadi sarana kemaslahatan tanpa mengabaikan nilai etis dan moral Islam.</p>2025-06-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 Qaumiyyah: Jurnal Hukum Tata Negarahttp://www.qaumiyyah.org/index.php/qaumiyyah/article/view/204ULTRA PETITA CONSTITUTIONALITY IN THE CONSTITUTIONAL COURT2025-06-29T16:42:32+00:00Mohamad SafrinMohamadsafrin@untad.ac.idMaulana Amin TahirMohamadsafrin@untad.ac.id<p>In making a decision on a judicial review case, ideally the Constitutional Court decides according to what the applicant requested in his/her application, but in practice the Constitutional Court often decides a case beyond what the applicant requested, or in other words, is ultra petita. This is actually contrary to the provisions in Article 45A of Law Number 8 of 2011 concerning Amendments to Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, which prohibits the Constitutional Court from deciding ultra petita. The study used a normative legal method that focused on the legal aspect with a literature study approach. The results of the study show that the legislators wanted the Constitutional Court not to decide more than what the applicant requested because of the nature of the Constitutional Court's decision, which is final and binding. However, in subsequent cases, the provisions regarding the prohibition of ultra petita were also found to be contradictory by the Constitutional Court itself, namely through the Constitutional Court's decision Number 48/PUU-IX/2011 concerning the judicial review of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics and Law Number 8 of 2011 concerning Amendments to Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, shortly after the enactment of Law Number 8 of 2011. The Constitutional Court, in deciding constitutional cases, must avoid actions that exceed its authority while still prioritizing the values of truth and justice that apply in society. However, the application of ultra petita is not without limitations, because it raises challenges that can weaken the effectiveness of the judiciary and has the potential to invite arbitrariness in judicial decision-making.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pengujian undang-undang, idealnya Mahkamah Konstitusi memutus sesuai dengan apa yang dimohonkan pemohon dalam permohonannya, namun dalam praktiknya Mahkamah Konstitusi sering kali memutus suatu perkara melebihi apa yang dimohonkan pemohon atau dengan kata lain bersifat <em>ultra petita</em>. Hal tersebut justru bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 45A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang melarang Mahkamah Konstitusi untuk memutus secara <em>ultra petita</em>. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang difokuskan pada aspek yuridis dengan pendekatan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menghendaki agar Mahkamah Konstitusi tidak memutus lebih dari apa yang dimohonkan pemohon dikarenakan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Akan tetapi, pada perkara-perkara selanjutnya, ketentuan mengenai larangan <em>ultra petita</em> tersebut juga ditemukan kontradiksi oleh Mahkamah Konstitusi sendiri, yaitu melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sesaat setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara konstitusi harus menjauhi tindakan yang melampaui kewenangannya dengan tetap mengutamakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian, penerapan ultra petita bukannya tanpa keterbatasan, karena menimbulkan tantangan yang dapat melemahkan efektivitas peradilan dan berpotensi mengundang kesewenang-wenangan dalam pengambilan keputusan peradilan.</p>2025-06-29T16:41:28+00:00Copyright (c) 2025 Qaumiyyah: Jurnal Hukum Tata Negarahttp://www.qaumiyyah.org/index.php/qaumiyyah/article/view/197PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK UNTUK MENDAPATKAN PENCATATAN KELAHIRAN YANG TELAH MELAMPAUI BATAS WAKTU2025-07-01T20:28:18+00:00Aryashakti Satria Pratama Yuliantoaryashaktiyulianto2001@gmail.comMuhammad Mashuriaryashaktiyulianto2001@gmail.comHumiatiaryashaktiyulianto2001@gmail.com<p>Birth registration is a basic right of every child guaranteed by national and international law. A birth certificate is required to access basic services and basic human rights. The sooner a child's identity is recorded, the sooner their existence is protected and their protection by the state is guaranteed. However, in practice, there are many children in Indonesia whose births have not been registered, even after the time limit specified by laws and regulations is a maximum of 60 days. This article aims to analyze the form of legal protection for children who experience delays in birth registration and the obstacles faced in the process. The research method used is normative juridical with a legislative approach and case studies. The results of the study indicate that delays in birth registration can have an impact on obstructing children's access to basic civil rights, such as education, health services, and legal protection. The state has an obligation to provide legal protection through a birth registration mechanism outside the administrative time limit or through a court decision. To obtain birth registration beyond the time limit by obtaining a decision from the head of the local implementing agency by fulfilling the requirements and procedures as well as the procedures stipulated in Presidential Regulation Number 96 of 2018 concerning Requirements and Procedures for Population Registration and Civil Registration. In addition, there needs to be a simplification of procedures and increased socialization to the community regarding the importance of timely birth registration as a form of fulfilling children's rights.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Pencatatan kelahiran merupakan hak dasar setiap anak yang dijamin oleh hukum nasional dan internasional. Akta Kelahiran diperlukan untuk mengakses layanan dasar dan hak asasi manusia yang mendasar. Semakin cepat identitas anak dicatat, semakin cepat pula keberadaannya dilindungi dan perlindungannya oleh negara terjamin. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit anak di Indonesia yang belum tercatat kelahirannya, bahkan setelah melewati batas waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yaitu maksimal 60 hari. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan pencatatan kelahiran serta kendala-kendala yang dihadapi dalam proses tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan pencatatan kelahiran dapat berdampak pada terhambatnya akses anak terhadap hak-hak sipil dasar, seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan hukum. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum melalui mekanisme pencatatan kelahiran di luar batas waktu secara administratif maupun melalui penetapan pengadilan. Untuk memperoleh pecatatan kelahiran yang melampaui batas waktu dengan cara mendapatkan keputusan dari Kepala Instansi Pelaksana setempat dengan memenuhi persyaratan dan prosedur serta tata cara yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Selain itu, perlu adanya penyederhanaan prosedur dan peningkatan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan kelahiran tepat waktu sebagai bentuk pemenuhan hak anak.</p>2025-06-30T15:58:56+00:00Copyright (c) 2025 Qaumiyyah: Jurnal Hukum Tata Negara